Di akhir abad ke-15, atau selambat-lambatnya awal abad ke-16, seorang pendeta bernama Bujangga Manik melakukan "wisata ziarah" ke tempat-tempat suci di Pulau Jawa. Bahkan, dalam perjalanan kedua, ia sampai ke Bali. Ia berangkat dari ibu kota Pakuan Pajajaran (Bogor sekarang), baik melalui darat maupun melalui laut. Kisah perjalanan yang dituliskannya pada helaian daun lontar, juga mungkin nipah atau gebang dengan menggunakan bahasa Sunda, sejak tahun 1627 tercatat sebagai koleksi Bodleian Library di Oxford, Inggris.

     Dari catatan perjalanannya itu, terkesan ia sekurang-kurangnya dua kali melintas ke tempat yang sekarang dikenal sebagai daerah Gunung Gede Pangrango (3.019 m). Dalam perjalanan pertama sewaktu berangkat ke wilayah timur, ia melalui tempat-tempat yang namanya masih dipertahankan hingga sekarang, misalnya Tajur Mandiri (sekarang Tajur) dan Suka Beurus (sekarang Sukabirus). Demikian juga tempat bernama Puncak yang ketika itu sudah dikenal.

     Katanya, "Panjang ta(n)jakan ditedak, ku ngaing dipeding-peding. Sadatang aing ka Puncak, deuuk di na mu(ng)kal datar, teher ngahihidan awak. Teher sia ne(n)jo gunung, itu ta na Bukit Ageung, hulu wano na Pakuan."      Terjemahan bebasnya kira-kira berarti, "Panjang tanjakan yang kulalui, kutempuh dengan tekun. Setiba aku di Puncak, aku duduk di atas batu datar (rata) sambil mengipasi tubuh. Lalu aku memandang ke arah gunung, itulah Bukit Ageung, titik tertinggi di wilayah Pakuan".

     Ketika kedua kalinya melalui daerah itu, ia datang dari timur. Sekembali dari perjalanan ziarahnya mengunjungi tempattempat suci di Majapahit, bahkan Bali. Katanya, ''Sadatang ka Bukit Ageung: eta hulu Cihaliwung, kabuyutan ti Pakuan, sanghiang Talaga Warna." Terjemahan bebasnya kira-kira, "Setiba di Bukit Ageung, itulah hulu Ci Liwung, kabuyutan (= tempat suci) dari Pakuan, (yaitu) sanghiang Talaga Warna".

     Bukit Ageung atau Bukit (gunung) Besar yang terdapat di daerah Puncak, dan juga menyebut Ci Liwung dan Talaga Warna, pastilah gunung yang sekarang bernama Gunung Gede (2.958 m). Atau, dalam hal masih timbul keraguan, bersama "saudara kembarnya", Gunung Pangrango (3.019 m). Bagi sebagian masyarakat yang sekarang berdiam di sekitar kedua gunung itu, Gunung Gede memang kadang-kadang juga disebut Gunung Agung atau Gunung Ageung.
     Gunung lain yang oleh masyarakat sekitarnya juga dinamakan Gunung Ageung (Agung) atau Gunung Gede adalah Gunung Ciremay (3.078 m) di Cirebon dan Gunung Slamet (3.428 m) di Pekalongan.

     Kutipanpuisi itu memberikan petunjuk kepada kita bahwa di masa lampau, ketika negara yang beribukotakan Pakuan masih ada, Gunung Gede dengan Telaga Warna sudah merupakan kabuyutan atau tempat suci. Apakah Talaga Warna menurut Bujangga Manik itu (awal abad ke-16) sama dengan Talaga Rena Mahawijaya menurut prasasti Batutulis  (1533)? Hingga saat ini sebagian ada yang berpendapat demikian. Walaupun, tentu saja, cukup mengherankan jika dalam waktu tidak sampai seperempat abad, jika memang benar, namanya sudah berubah dari Talaga Warna menjadi Talaga Rena Mahawijaya.


     Petunjuk lain yang dapat diambil dari naskah itu adalah yang berhubungan dengan lembah Mandalawangi, yang oleh sebagian masyarakat juga dikenal dengan nama lembah Eyang Suryakencana. Bujangga Manik yang dengan sengaja berkunjung ke berbagai kabuyutan dan tempat suci hingga ke ujung timur Pulau Jawa dan Bali ternyata sama sekali tidak menyebutkan kabuyutan Eyang Suryakencana.

     Apakah itu berarti bahwa ketika itu kabuyutan itu belum ada? Sesuatu yang juga sangat masuk akal mengingat, menurut tradisi rakyat setempat, Eyang Suryakencana adalah Raja Pajajaran yang terakhir. Artinya, jika itu dihubungkan dengan berita naskah Carita Parahyangan (1580) dan kemudian diperkuat oleh Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawa Kulwan (1687) karya Pangeran Wangsakerta dan kawan-kawan dari Cirebon, terdapat kesesuaian juga.

     Menurut kedua naskah itu, raja terakhir yang bernama Nu Siya Mulya "ia (baginda) yang mulia" memerintah selama  tahun (1567-1579). Berarti, ketika Bujangga Manik  berkunjung ke Gunung Gede, Nu Siya Mulya atau yang Suryakencana belum menjadi raja, bahkan mungkin juga belum lahir. Karena itu, sangat wajar jika ia tidak mengenal kabuyutan yang memang diharapkan itu belum ada.

     Alam di sekitar Gunung Gede-Pangrango ternyata merupakan makmal, 'laboratorium', alam untuk berbagai jenis tanaman. Hal itu menyebabkan para perintis botani pada zaman pemerintahan Hindia Belanda, misalnya Franz Wilhelm Junghuhn (1809-1864), ahli botani keturunan Jerman yang berkelana di pegunungan Jawa Barat, meneliti fenomena alam tropis. Ia pun memperkenalkan tanaman kina dan membudidayakannya di daerah Lembang.

     Selain Junghuhn, juga tercatat peneliti tanaman tropis di daerah pegunungan Jawa, termasuk Gede dan Pangrango, adalah G Forbes, Direktur Museum Botani di Liverpool, Inggris. Forbes tahun 1871 pernah berkelana di alam pegunungan Jawa Barat, dari Buitenzorg (Bogor) ke Bandung dengan kereta pos dengan kuda dan kerbau, semalam suntuk baru tiba di Bandung.

     Kekayaan tanaman di pegunungan itu menyebabkan penguasa pada waktu itu lalu melakukan upaya perlindungan. Tindakan nyatanya adalah dengan menjadikan kawasan itu sebagai suaka alam dan kini menjadi Taman Nasional Gede-Pangrango.

     Untuk memperlihatkan betapa bermaknanya kedua gunung itu bagi orang Sunda yang menganggap berasal dari Pajajaran, simaklah lirik lagu berikut ini:
“Gunung Gede siga nu nande/ nandean ka badan abdi/ Gunung Pangrango ngajogo/ ngadagoan abdi wangsul/ wangsul ti pangumbaraan/ kebo mulih pakandangan/ nya muncang labuh ka puhu/ anteurkeun ka Pajajaran”.
 

     Terjemahan bebasnya, "Gunung Gede bagaikan menampung, menampung tubuh diriku; Gunung Pangrango menunggu, menanti aku kembali; aku pulang mengembara, bagai kerbau kembali ke kandangnya, bagaikan kemiri jatuh ke pangkal, antarkanlah daku ke Pajajaran".

     Begitu pun Kalipah Apo atau Ace Majid, ketika berada di puncak Gunung Halimun, ia bermadah, Laut Kidul kabeh katingali/ ngembat paul kawas dina gambar/ ari ret ka tebeh kaler/ Batawi ngarunggunuk/ lautna mah teu katingal/ ukur lebah-lebahna/ semu-semu biru/ ari ret ka kaler wetan/ Pangrango siga nu ngajak balik/ meh bae kapiuhan.
 
     Terjemahan bebasnya, "Laut Kidul semua jelas terlihat, membiru bagaikan gambar, ketika memandang ke arah utara, Kota Betawi pun muncul, namun lautnya tak tampak, hanya perkiraan letaknya yang terlihat berwarna biru; ketika menoleh ke timur laut, Pangrango bagaikan mengajak pulang, aku pun hampir pingsan".

      Gunung Gede-Pangrango memang gunung kabuyutan di Tatar Sunda. Gunung yang menjadi taman nasional ini harap saja tetap menjadi "tempat suci" yang dijaga dan dilestarikan. Meski di seputarannya, penjarahan dan perusakan alam masih terus berlangsung, malah makin hebat dan membinasakan kalau tidak dicegah. Apa mampu?

     Di akhir abad ke-15, atau selambat-lambatnya awal abad ke-16, seorang pendeta bernama Bujangga Manik melakukan "wisata ziarah" ke tempat-tempat suci di Pulau Jawa. Bahkan, dalam perjalanan kedua, ia sampai ke Bali. Ia berangkat dari ibu kota Pakuan Pajajaran (Bogor sekarang), baik melalui darat maupun melalui laut. Kisah perjalanan yang dituliskannya pada helaian daun lontar, juga mungkin nipah atau gebang dengan menggunakan bahasa Sunda, sejak tahun 1627 tercatat sebagai koleksi Bodleian Library di Oxford, Inggris.

     Dari catatan perjalanannya itu, terkesan ia sekurang-kurangnya dua kali melintas ke tempat yang sekarang dikenal sebagai daerah Gunung Gede Pangrango (3.019 m). Dalam perjalanan pertama sewaktu berangkat ke wilayah timur, ia melalui tempat-tempat yang namanya masih dipertahankan hingga sekarang, misalnya Tajur Mandiri (sekarang Tajur) dan Suka Beurus (sekarang Sukabirus). Demikian juga tempat bernama Puncak yang ketika itu sudah dikenal.

     Katanya, "Panjang ta(n)jakan ditedak, ku ngaing dipeding-peding. Sadatang aing ka Puncak, deuuk di na mu(ng)kal datar, teher ngahihidan awak. Teher sia ne(n)jo gunung, itu ta na Bukit Ageung, hulu wano na Pakuan."

Terjemahan bebasnya kira-kira berarti,
     "Panjang tanjakan yang kulalui, kutempuh dengan tekun. Setiba aku di Puncak, aku duduk di atas batu datar (rata) sambil mengipasi tubuh. Lalu aku memandang ke arah gunung, itulah Bukit Ageung, titik tertinggi di wilayah Pakuan".

     Ketika kedua kalinya melalui daerah itu, ia datang dari timur. Sekembali dari perjalanan ziarahnya mengunjungi tempattempat suci di Majapahit, bahkan Bali. Katanya, ''Sadatang ka Bukit Ageung: eta hulu Cihaliwung, kabuyutan ti Pakuan, sanghiang Talaga Warna."

Terjemahan bebasnya kira-kira, "Setiba di Bukit Ageung, itulah hulu Ci Liwung, kabuyutan (= tempat suci) dari Pakuan, (yaitu) sanghiang Talaga Warna".

     Bukit Ageung atau Bukit (gunung) Besar yang terdapat di daerah Puncak, dan juga menyebut Ci Liwung dan Talaga Warna, pastilah gunung yang sekarang bernama Gunung Gede (2.958 m). Atau, dalam hal masih timbul keraguan, bersama "saudara kembarnya", Gunung Pangrango (3.019 m). Bagi sebagian masyarakat yang sekarang berdiam di sekitar kedua gunung itu, Gunung Gede memang kadang-kadang juga disebut Gunung Agung atau Gunung Ageung.
     Gunung lain yang oleh masyarakat sekitarnya juga dinamakan Gunung Ageung (Agung) atau Gunung Gede adalah Gunung Ciremay (3.078 m) di Cirebon dan Gunung Slamet (3.428 m) di Pekalongan.

     Kutipanpuisi itu memberikan petunjuk kepada kita bahwa di masa lampau, ketika negara yang beribukotakan Pakuan masih ada, Gunung Gede dengan Telaga Warna sudah merupakan kabuyutan atau tempat suci. Apakah Talaga Warna menurut Bujangga Manik itu (awal abad ke-16) sama dengan Talaga Rena Mahawijaya menurut prasasti Batutulis  (1533)? Hingga saat ini sebagian ada yang berpendapat demikian. Walaupun, tentu saja, cukup mengherankan jika dalam waktu tidak sampai seperempat abad, jika memang benar, namanya sudah berubah dari Talaga Warna menjadi Talaga Rena Mahawijaya.


     Petunjuk lain yang dapat diambil dari naskah itu adalah yang berhubungan dengan lembah Mandalawangi, yang oleh sebagian masyarakat juga dikenal dengan nama lembah Eyang Suryakencana. Bujangga Manik yang dengan sengaja berkunjung ke berbagai kabuyutan dan tempat suci hingga ke ujung timur Pulau Jawa dan Bali ternyata sama sekali tidak menyebutkan kabuyutan Eyang Suryakencana.

     Apakah itu berarti bahwa ketika itu kabuyutan itu belum ada? Sesuatu yang juga sangat masuk akal mengingat, menurut tradisi rakyat setempat, Eyang Suryakencana adalah Raja Pajajaran yang terakhir. Artinya, jika itu dihubungkan dengan berita naskah Carita Parahyangan (1580) dan kemudian diperkuat oleh Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawa Kulwan (1687) karya Pangeran Wangsakerta dan kawan-kawan dari Cirebon, terdapat kesesuaian juga.

     Menurut kedua naskah itu, raja terakhir yang bernama Nu Siya Mulya "ia (baginda) yang mulia" memerintah selama 12 tahun (1567-1579). Berarti, ketika Bujangga Manik  berkunjung ke Gunung Gede, Nu Siya Mulya atau yang Suryakencana belum menjadi raja, bahkan mungkin juga belum lahir. Karena itu, sangat wajar jika ia tidak mengenal kabuyutan yang memang diharapkan itu belum ada.

     Alam di sekitar Gunung Gede-Pangrango ternyata merupakan makmal, 'laboratorium', alam untuk berbagai jenis tanaman. Hal itu menyebabkan para perintis botani pada zaman pemerintahan Hindia Belanda, misalnya Franz Wilhelm Junghuhn (1809-1864), ahli botani keturunan Jerman yang berkelana di pegunungan Jawa Barat, meneliti fenomena alam tropis. Ia pun memperkenalkan tanaman kina dan membudidayakannya di daerah Lembang.

     Selain Junghuhn, juga tercatat peneliti tanaman tropis di daerah pegunungan Jawa, termasuk Gede dan Pangrango, adalah G Forbes, Direktur Museum Botani di Liverpool, Inggris. Forbes tahun 1871 pernah berkelana di alam pegunungan Jawa Barat, dari Buitenzorg (Bogor) ke Bandung dengan kereta pos dengan kuda dan kerbau, semalam suntuk baru tiba di Bandung.

     Kekayaan tanaman di pegunungan itu menyebabkan penguasa pada waktu itu lalu melakukan upaya perlindungan. Tindakan nyatanya adalah dengan menjadikan kawasan itu sebagai suaka alam dan kini menjadi Taman Nasional Gede-Pangrango.

     Untuk memperlihatkan betapa bermaknanya kedua gunung itu bagi orang Sunda yang menganggap berasal dari Pajajaran, simaklah lirik lagu berikut ini:
“Gunung Gede siga nu nande/ nandean ka badan abdi/ Gunung Pangrango ngajogo/ ngadagoan abdi wangsul/ wangsul ti pangumbaraan/ kebo mulih pakandangan/ nya muncang labuh ka puhu/ anteurkeun ka Pajajaran”.
 
     Terjemahan bebasnya, "Gunung Gede bagaikan menampung, menampung tubuh diriku; Gunung Pangrango menunggu, menanti aku kembali; aku pulang mengembara, bagai kerbau kembali ke kandangnya, bagaikan kemiri jatuh ke pangkal, antarkanlah daku ke Pajajaran".

     Begitu pun Kalipah Apo atau Ace Majid, ketika berada di puncak Gunung Halimun, ia bermadah, Laut Kidul kabeh katingali/ ngembat paul kawas dina gambar/ ari ret ka tebeh kaler/ Batawi ngarunggunuk/ lautna mah teu katingal/ ukur lebah-lebahna/ semu-semu biru/ ari ret ka kaler wetan/ Pangrango siga nu ngajak balik/ meh bae kapiuhan.
 
     Terjemahan bebasnya, "Laut Kidul semua jelas terlihat, membiru bagaikan gambar, ketika memandang ke arah utara, Kota Betawi pun muncul, namun lautnya tak tampak, hanya perkiraan letaknya yang terlihat berwarna biru; ketika menoleh ke timur laut, Pangrango bagaikan mengajak pulang, aku pun hampir pingsan".

      Gunung Gede-Pangrango memang gunung kabuyutan di Tatar Sunda. Gunung yang menjadi taman nasional ini harap saja tetap menjadi "tempat suci" yang dijaga dan dilestarikan. Meski di seputarannya, penjarahan dan perusakan alam masih terus berlangsung, malah makin hebat dan membinasakan kalau tidak dicegah. Apa mampu?
 
  Berangkat dari beberapa studi literasi yang dilakukan penulis, ditemukan beberapa fakta logika yang menarik tentang perulangan kata yang disebut sebagai Atlantis. Dengan ditemukannya bukti-bukti keilmuan dan logika baru yang cukup kontroversial dengan sejarah peradaban saat ini, yang telah dikembangkan oleh para peneliti sebelumnya pasca penjelajahan dunia, revolusi industri dan era imprealis, penulis mencoba melihat ini sebagai logika sejarah penyebaran dan peradaban manusia di bumi sejak bumi tercipta hingga saat ini kita berpijak.

     Seorang peneliti Arkeologi dan Antropologi asal Belanda, Koenraad elst, mengatakan bila bumi yang kita tinggali saat ini adalah hasil keseimbangan perubahan iklim global sebelumnya maka bukanlah sebuah kiasan “kaca Freudian yang buram” saja dan seperti illustrasi Plato bahwa pernah ada sebuah bangsa yang tenggelam bersama permukaannya karena naiknya permukaan laut di bumi dan bersamaan dengan letusan gunung berapi secara berturut-turut dan dalam waktu yang berdekatan, bersamaan menghancurkan dan menenggelamkan benua tersebut . Hal ini dapat kita pahami sebagai konsekuensi logis, bila bumi kita sedang mengalami perubahan iklim global, dengan makin tipisnya lapisan ozon dan naiknya suhu udara di kedua kutub bumi maka kita rasakan perubahan iklim ini membawa efek pada lingkungan dimana tempat manusia berada, peradaban manusia sekarang menyebutnya sebagai bencana alam, baik banjir ataupun dampak efek rumah kaca lainnya.

     Tertarik membaca logika sebuah buku yang ditulis oleh Stephen Oppenheimer, yang berjudul Eden in the East yang mengatakan bahwa ada sebuah benua yang tenggelam, yang saat ini disebut Asia Tenggara. Stephen Oppenheimer telah memfokuskan penelitian pada satu pulau Tapobrane dan sebagian landas kontinen lainnya yaitu Sunda: wilayah ini antara Malaysia, Sumatra, Jawa, Kalimantan, Thailand, Vietnam, China dan Taiwan, yang sebagian besar wilayah tersebut sudah ditempati selama Zaman Es Purba sebelum mencair. Dimungkinkan bahwa disini pusat peradaban paling maju telah ada, ia menyebutnya Eden, nama ini diambil dari alkitab "surga” (dari bangsa Edin Sumeria, dalam naskah tersebut disebut juga "Dataran Aluvial"), sumber Barat-Asia termasuk Alkitab ini melakukan prosesi dengan mencari asal-usul manusia atau setidaknya mencari apa yang namanya peradaban dari Timur. Dalam beberapa kasus, seperti dalam referensi Sumeria "Timur" ini, Koenraad mengatakan: jelas merupakan budaya pra-Harappa dan Harappa, tetapi bahkan lebih banyak negara-negara timur yang saat ini ada tampaknya pun masih merupakan bagian peradaban itu, benua itu, bagi Oppenheimer dan Koenraad menyebutkan sebagai “Bagian benua Asia Tenggara” atau dikatakan sebagai Sundaland.

     Oppenheimer sendiri dalam penelitiannya menggunakan metode ilmiah yaitu dengan metode genetika, Antropologi, Linguistik dan Arkeologi dan ini sangat berbeda dengan Plato yang menggunakan metode tuturan guna melacak jejak peradaban itu, sedangkan Koenraad melakukan penelitian melalui studi kebudayaan masyarakat India kuno. Sebagai ahli Sastra, Antropologi dan Sosiologi ia menemukan adanya “keterkaitan kebudayaan India kuno yang hilang serta ekspansi bangsa Arya di India”, Koenraad bahkan berhasil menunjukkan melalui pendekatan keilmuannya (salah satunya pendekatan sastra India Kuno , melalui karya-karya sastra kuno seperti karya Walmiki) bahwa Ayodia dimungkinkan sebagai peninggalan kebudayaan India pra-modern sebagai hasil agitasi kedua dari bangsa Ayodia setelah masa kedua zaman es mencair. Sejalan dengan Oppenheimer, dengan latar belakangnya sebagai dokter medis yang telah lama tinggal di Asia Tenggara selama beberapa dekade, berhasil menemukan metode secara keilmuan yang dimilikinya dengan metode penelitian DNA manusia-manusia yang berada di wilayah Afrika, Asia Tenggara-Australia hingga Kepulauan Pasifik.

     Dengan alasan dan bukti yang ditawarkan Oppenheimer dan Koenraad di atas, ditemukan peninggalan berupa besaran-besaran pemikiran yang diwarisi oleh penduduk sekarang, tentang “ kecenderungan yang sama, seperti perbandingan mitologi: banyak budaya yang mirip, khususnya mereka yang berada di zona Asia-Pasifik, mereka memiliki mitos yang sangat paralel dari satu atau lebih tentang banjir besar”, ungkap Oppenheimer. Seperti kata Koenraad , ini bukan kiasan “Freudian” semata terhadap peristiwa alam bawah sadar para ahli warisnya, namun jelas referensi historis ketika bencana itu terjadi - dengan ditarik keluar dari konteks tahayul, Oppenheimer menyatakan bahwa permukaan laut memang naik secara ekstrim setelah zaman es mencair, perlu 3 proses banjir besar untuk menggelamkan 2/3 permukaan bumi seperti keadaan sekarang. Karena setiap fase kenaikan ini bukan proses yang berkesinambungan namun bertahap dan melanda di beda tempat; seperti patahnya gunung es di Eropa Tengah dan Asia Utara disebabkan suhu yang menghangat maka terjadilah banjir besar yang melanda Asia dan sebagian Eropa, kesemuanya ini terjadi dengan tiba-tiba; untuk tiap fase banjir, baik yang pertama hingga banjir ketiga, bahkan ketinggiannya pun hingga mencapai 130 -150 meter, cukup memusnahkan hampir semua kawasan yang ditempati seluruh penduduk suku - suku bangsa yang tinggal di dekat pantai dan perairan, kenaikan air laut ini kira-kira terjadi hingga tahun 55000 SM, setelah itu permukaan laut mundur beberapa meter menjadi surut secara perlahan hingga ratusan dan ribuan tahun ke posisi serta kondisi yang sekarang di tempati sebagai wilayah Asia Tenggara dan Asia Tengah. Bagi penduduk yang kini ada di wilayah Asia Tenggara, perubahan klimatologi ini diantaranya pun terjadi saat Gunung Toba meletus kira-kira sekitar pertengahan 74.000 SM (bukti-bukti Vulkanik di P.Samosir, DNA di wilayah kota Tampan - Perak dan sebagian Serawak-Malaysa) lalu Krakatoa purba meletus (kitab pustaka radya Pararaton-jauh sebelum letusan tahun 1883), di lain tempat dan di rentang waktu lebih awal - Gunung Sunda Purba pun meletus membagi pegunungan pulau Jawa bagian barat menjadi 2 lempeng pegunungan; yaitu pegunungan yang ada di Utara kota Bandung dan deret pegunungan yang ada di Selatan kota Bandung (Stratigrafi gunung api daerah Bandung Selatan, Jawa Barat; Sutikno Bronto, Achnan Koswara, dan Kaspar Lumbanbatu; Jurnal 1 volume 2 - Pusat Survei Geologi, 2006), ini dibuktikan dengan ditemukan melalui penelitian Geologi yang menunjukkan bahwa endapan danau tertua usianya dari hasil radiometri karbon adalah kira-kira setua 125 ribu tahun, sedangkan kedua erupsi Plinian yang terjadi itu telah ditentukan umurnya kira-kira mencapai 105 dan 55-50 ribu tahun yang lalu. Asal-usul danau Bandung ternyata bukan disebabkan oleh letusan Plinian belaka walaupun aliran debu yang pertama dapat saja memantapkan danau purba itu secara pasti. Danau purba ini berakhir kira-kira pada 16 ribu tahun yang lalu(Prof.Dr.R.P Koeseoemadinata ). Di lain tempat, dari rangkaian gunung di bukit barisan - Sumatera yang ikut mengambil bagian letusan dari rangkaian gunung berapi Mediterania (ring of fire in the East).

     Dalam teori yang dikemukakan kedua peneliti di atas (Oppenheimer- Koenraad), bahwa Asia Tenggara yang kita ketahui dulunya merupakan bagian paparan daratan yang luas, kini disebut sebagai bagian paparan Sundaland, maka Asia Tenggara mempunyai kriteria yang ideal untuk dikatakan sebagai sisa paparan benua yang tenggelam yang disebabkan naiknya permukaan air laut. Bila merunut tuturan Plato , ada kemungkinan bahwa paparan yang tenggelam ini adalah reruntuhan benua Atlantis, ungkap Prof. Arysios Santos. Oppenheimer sendiri mengillustrasikan dalam bukunya bahwa bumi ini mengalami banjir yang besar sebanyak tiga kali, yang pertama: yaitu jaman pra Jurassic, kedua: masa es mencair yang melanda benua Amerika Utara – yang kini membentuk danau-danau besar di kawasan perbatasan antara Kanada dan Amerika, serta fase ketiga yaitu masa mencairnya es di kawasan Asia dan Eropa Tengah - dalam konsep Agama sebagai  “Banjir Nuh”. Bagi Koenraad dan Oppenheimer, bangsa yang menempati wilayah Paparan Sunda pasca banjir kedua ini memimpin dunia dalam Revolusi Neolitikum ( mulai dari pertanian), dengan menggunakan  batu untuk  menggiling biji-bijian liar pada 24.000 tahun lalu, lebih tua 10.000 tahun dari kebudayaan Pyramid Kuno di Mesir atau Summeria di Palestina.
Kode Genetika dan Artifisial
     Dari penelitian kode genetika yang dilakukan oleh Richard Cordeux dan Mark Stoneking dalam jurnal American Human Genetika tahun 2003 yang berjudul “South Asia, the Andamanese, and the genetic evidence for an “early” human dispersal out of Africa” membuktikan bahwa penduduk yang tinggal di kepulauan Andaman adalah penduduk yang penyebarannya melalui rute jalur Selatan baik sebelum banjir itu tejadi dan atau selama banjir, dimana para penduduk itu yang berusaha berhasil selamat ini bertahap pindah dari dataran  rendah ke dataran yang lebih tinggi, yang aman dan stabil, Sundalanders (sebutan bagi para penduduk yang tinggal di kawasan Paparan Sunda) menyebar ke negeri-negeri tetangga: daratan Asia termasuk China, India dan Mesopotamia, dan kemudian menyebar ke seluruh dunia, tidak juga pulau dari Madagaskar ke Filipina dan Papua New Guinea, dari sini mereka kemudian memasuki dan menjajah Polinesia sejauh mungkin hingga Pulau Paskah, Hawaii dan Selandia Baru. Bagi penulis, pemikiran Oppenheimer dan Koenraad ini sejalan dengan para Arkeolog pra-sejarah tentang tanah air dari rumpun bahasa Austronesia (Melayu, Tagalog, Maori, Malagasy, dll) ini: asal usul bangsa Austronesia berada di Paparan Sunda dan berada di daerah-daerah yang wilayahnya kini mencapai pantai dari bagian Tenggara dari negara-negara Asia. Namun fakta lain dari kebanyakan ahli bahasa berpendapat bahwa Cina bagian selatan adalah tanah asal-usul bangsa yang kini tinggal di kawasan Asia Tenggara (Van dyke,1939). Pemikiran ini bagi Oppenheimer adalah bagian dari argumen kronologi yang memprihatinkan bagi teori penyebaran manusia: kronologi pemikiran Oppenheimer mengusulkan bahwa haruslah lebih sempurna dari sekedar logika Peter Bellwood (P. Bellwood - ANTIQUITY-OXFORD-,1996-antiquity.cc... of correlation between large-scale linguistic and genetic entities)

     Koenraad Elst mengatakan “Pengalaman saya dengan studi IE (Indo-Eropa) ini membuat saya mencari bantuan untuk mengetahui bagaimana kronologi sejarah IE dari setiap instrumen data yang lebih tua dan akurat , untuk setiap temuan baru (misalnya bahwa "pra-IE" orang seperti Pelasgians dan Etruscans, tidak berbicara tentang Harappans, ternyata telah lebih awal tinggal daripada para pemukim bangsa "Aryan") yang konsisten telah mendorong tanggal fragmentasi itu terjadi ke masa lalu. Alasan lain untuk tidak bergantung pada teori yang terlalu banyak dari para ahli bahasa; bahwa linguistik Austronesia adalah bidang yang harus diteliti lebih jauh, terdiri dari studi ratusan bahasa kecil yang kebanyakan bahasanya bukanlah bahasa sastra, sedangkan jumlah ahli bahasa asli jauh lebih kecil daripada di kasus yang ditemukan, karena sebagian memang sudah musnah dilanda Tragedi Banjir Besar bahkan dalam kasus linguis terakhir membuktikan pada sebuah tempat, pendekatan ini membuat konsensus tentang masalah asal-usul tanah air dan leluhur bangsa Austronesia. Bukti-bukti linguistik sangat sedikit, dan biasanya data tersebut diakui lebih dari satu dari bentuk rekonstruksi sejarah saja, jadi saya pikir tidak ada bukti kuat terhadap hipotesis tanah air Sundaland hanya dengan satu metode linguistik saja. Sebaliknya, bukti Arkeologi dan Genetika yang banyak mendukung tentang penyebaran populasi berbahasa Austronesia dari Sundaland akan cukup bisa membuktikan dokumen Oppenheimer dan bukti-bukti adanya peradaban AIT ( Aryan Invasion Theory) di India sebagai bagian dari penyebaran manusia di dunia. Seperti dikatakannya bahwa bangsa Arya adalah bangsa yang berhasil menjajah India secara peradaban yaitu pasca banjir besar melanda dunia pada umumnya khususnya di India, kemudian kronolgis dari rangkaian letusan gunung berapi yang berupa endapan sedimen telah mengubur bukti peradaban tersebut seperti India kuno, bisa dimungkinkan ekspansi ini telah dilalui melalui beberapa proses migrasi – infiltrasi – dan kooptasi lainya bersama arus pengembaraan kedua pasca abu vulkanik dari Erupsi yang melanda India selama 5 tahun, kemudian diulangi untuk penjelajahan ke tanah baru dan penelusuran kembali jejak tanah leluhur.
     Tentang Daratan Cina sebagai 'tanah asal' bangsa Austronesia, bila disusun berdasarkan Kronologi pemikiran linguistik, Cina sebagai asal-usul Austronesia itu hanya dari aspek-aspek tertentu saja dan dokumen sejarah serta bukti-bukti arkeologinya membuktikan lebih muda usianya dari sejarah penemuan peradaban lainnya di Asia, dan ini tidak membuktikan sebagai alasan linguistik sebagai dasar migrasi tersebut, perlu kelengkapan data yang utuh. Bagi Oppenheimer dan Koenraad , pendapat Peter Bellwood merupakan pembahasan yang cukup kontroversional dan gegabah.

     Namun bagi keduanya, ini semua bisa terjadi ketika iklim mulai merubah permukaan Es di utara yang mulai mencair, sebagai contoh: seiiring perubahan klimatologi bumi, seperti Gunung Toba meletus sekitar pertengahan antara 80.000 – 70.000 SM, suhu bumi pun meningkat, dari dokumen Oppenheimer tentang Kode Genetik Mitokondria dalam “Journey of Mindkind-The real Eve” yang membahas penyebaran manusia di belahan bumi, menguatkan bahwa teori letusan ini disebut juga sebagai letusan gunung maha dahsyat (Super Eruptions) setara 200 kali lipat ledakan Atom Hiroshima hingga menciptakan musim panas yang berkabut selama 6 tahun dan merubah perwajahan 1/3 daratan Asia hingga India, Pakistan dan daerah sekitarnya sendiri terkubur debu letusan itu setinggi 5 meter dan sebagian daratan terkubur karena abu serta gelombang pasang. Hal lain yang terjadi yaitu menyebabkan penduduk yang sanggup bertahan akibat letusan ini hanya 10.000 orang dari total seluruhnya yang mencapai 5 kali lipatnya. Sebagian merupakan penduduk yang berada jauh dari India dan sebagian lagi berada di daerah tenggara Asia yaitu yang sekarang disebut wilayah kepulauan Nusantara. Koenraad mengatakan pada peristiwa di atas menyebabkan sebagian penduduk tiap wilayah bencana melakukan migrasi besar-besaran dengan menggunakan perahu ke wilayah lain, yang lebih aman dan stabil, kemudian setelah 6 tahun pasca letusan ini datanglah gelombang kedua para penduduk dari wilayah timur ( Afrika-Jazirah Arab) dan wilayah barat (Semanjung Malaysia dan sebagian Nusantara) memasuki wilayah India yang baru, yang selanjutnya Koenraad menyebut manusia India modern.

Mungkinkah Bencana di Indonesia seperti kejadian-kejadian Atlantis dahulu?
     Berdasarkan bukti yang ditawarkan Oppenheimer-Koenraad, dan dikuatkan oleh Arysios Santos, dan dengan tuturan cerita Plato sangatlah mungkin bahwa Atlantis yang hilang kini telah berubah menjadi lautan – dan sebagian peninggalannya ada di Asia selatan dan Asia Tenggara, ataukah Nusantara ini yang dikatakan Plato sebagai Atlantis seperti logika Santos, persis dengan peninggalan Republik yang berada dalam Zona Erupsi dari sabuk Pegunungan Berapi?

     Bila kita melihat dari proses penyebaran penduduk ketika migrasi itu berlangsung (Oppenheimer), mereka lakukan perjalanan melalui rute Selatan sekitar daratan pantai dan dari kaki pegunungan bergerak hingga mencapai dan terus memasuki wilayah Asia Tenggara . Di Nusantara pun banyak ditemukan bukti yang menguatkan teori di atas, dari mulai pembuktian teori DNA hingga pemetaan Geologi, membuktikan bahwa masuknya penyebaran manusia di Nusantara ini mengikuti garis paparan daratan, yaitu paparan Sunda, mereka melakukan perjalanan lalu masuk melalui semenanjung Thailand - Malaysa masuk ke Aceh Utara (masih berupa daratan kering) kemudian masuk ke Sumatera (Summa-Terra) dan Selat Sunda sebagai pintu gerbang pun saat itu belum terbentuk masih ada gunung berapi Krakatau, maka  ini ke P. Jawa – Bali (Madura dan Bali masih bersatu sebagai kawasan yang kering bagian dari ujung Sundaland), kemudian menyeberang ke Kalimantan lalu ke Utara memasuki kawasan Philipina dan Cina Selatan lalu bergerak ke Utara dan ke Timur ke Sulawesi. Ini semua terjadi kala Zaman Es belum mencair pada fase ketiga bahkan Sumatera dan Malaysia pun masih bersatu sebagai daratan yang subur menjadi bagian dari paparan Sunda yang masih kering. Namun hal lain yang perlu diketahui bahwa di wilayah-wilayah ini merupakan kawasan yang subur (tanah aluvial) yang dipagari oleh deretan pegunungan berapi, Prof.Santos pun berfikir bahwa Indonesia menjadi contoh yang Ideal dari cerita Plato.

     Di sisi lain, dengan ditemukannya garis Wallace dan Webber membuktikan bahwa banyak ciri-ciri yang mengkuatkan teori di atas. Berdasarkan kronologis Koenraad dan Oppenheimer dengan bukti-bukti yang diketemukan bahwa Nusantara telah lebih awal mengalami kemajuan sebagai bagian bangsa yang pertama memimpin revolusi kebudayaan dari masa Neolitikum, menyepakati bahwa banyak bukti yang tertinggal itu hilang akibat bencana Vulkanik dan Tektonik. Jejak-jejak itu kini hanya terdiri dari kepingan-kepingan yang masih menyimpan misteri, bagai puzzle-puzzle yang masih harus disusun ulang sebagai rekontruksi kebudayaan neolitikum, para peneliti ini memulai dengan penemuan jejak vulkanologi di P.Samosir kemudian jejak peninggalan kerajaan Kandish lalu Kota Tampa dan seterusnya. Namun yang semestinya itu bisa ditemukan artefak maka banyak hilang ditelan bumi karena bencana alam baik yang berupa vulkanik maupun tektonik karena wilayah ini ada dalam lintasan pegunungan dan pergerakan lempeng tektonik dunia

     Seperti logika Koenraad dalam review buku Eden in the East bahwa bangsa yang tinggal di wilayah Paparan Sunda ini dahulunya adalah bangsa yang memimpin revolusi kebudayaan Neolitikum, sejak masa zaman es mulai mencair dan peristiwa rentetan gunung berapi yang meletus kini wilayah paparan ini telah berubah menjadi wilayah yang terbagi menjadi kepulauan di daerah Selatan dan Tenggara dan daratan di Timur Laut yang berupa wilayah yang luas membentang hingga ke Cina dan Utara Mongolia (Asia Tengah), dan sebelah barat Sumatera kini menjadi semenjung yang kini disebut India, Srilangka dan Bangladesh. Lalu di Utara yaitu Pakistan. Wilayah-wilayah inilah yang dipetakan oleh Oppenheimer sebagai wilayah reruntuhan benua yang hilang, yang disebutnya sebagai bagian Eden in the East. Logika Santos mengatakan, letak Atlantis berada dalam lintasan gunung berapi dan tanahnya adalah tanah aluvial yang subur, Indonesia menjadi pilihan idealnya, ini wilayah-wilayah pemetaan dari peninggalan Benua Atlantis yang hilang, seperti kata Plato dan perlu dibuktikan kebenarannya.

     Kini Indonesia tengah mengalami siklus berikutnya dari jam Pemetaan Geologi Dunia, sejak longsornya patahan bumi yang berada di Ujung Aceh, diiringi kemudian ke arah Tenggara dan Selatan hingga berupa gempa-gempa tektonik yang terjadi di sepanjang wilayah Sumatera dan Jawa yang mencapai di kepulauan Nusa Tenggara dan Sulawesi. Serta rentetan gunung berapi di Indonesia yang sudah aktif dan kini sebagian telah mengalami erupsi. Semua ini bagi penulis  merupakan Tarikh Geologi Bumi, kenyataannya Indonesia berada di dalamnya dan mau tidak mau telah memasuki Indonesia masuk di siklus Geologi dunia. Dengan kenyataan peta geografi ini, semestinya kita sebagai bangsa yang tinggal di “wilayah rawan” ini mempersiapkan segala bentuk kemungkinan tentang keberadaan pentingnya sistem kewaspadaan nasional (National Early Warning System) terhadap bencana yang akan terjadi, serta memberikan penyadaran dan membangun kesiapan penduduk di tiap wilayahnya guna menghadapi pemetaan ini.

     Dengan kejadian bencana Tektonik dan Vulkanik di Indonesia yang terjadi pada akhir-akhir ini, kini wilayah bumi Nusantara telah memasuki Era Siklus Geologi. Tanpa harus mengurangi rasa hormat dan bukan semata-mata pembahasan masalah yang sifatnya mitologi tradisonal, ideologi, tentang keberadaan Atlantis di Indonesia bahkan cerita-cerita legenda lainnya kini bangsa Indonesia dituntut untuk menjelma sebagai bangsa yang dinamis dan menghendaki kemajuan dalam tehnologi dalam mempersiapkannya kelak bagi anak cucu bangsa di masa depan, karena kelak mereka ini harus lebih siap dan waspada terhadap apa yang disadarinya sebagai mahluk yang hidup berdampingan dengan alam sekitarnya. Ini bukan sebagai bencana karena kemarahan Yang Maha Kuasa, namun perlu disadari bahwa alam tetap akan memegang janji “Prinsip Keseimbangan Alam”, walau saat ini keseimbangannya dipahami sebagai bencana, bahkan mungkin sebelumnya dianggap sebagai mitos karena informasi yang terbatas, kini berhadapan dengan ketidakperdulian kita pada lingkungan dan menjelma sebagai bencana perilaku, pun bencana kini tidak seutuhnya karena “Siklus”, namun campur tangan manusia pun ikut berperan mempercepat peristiwa itu terjadi (Global  Causes) seperti Global Warming, banjir, longsor, dll; dan “Judgement Day” tidak bisa dikatakan lagi kemarahan Tuhan tapi memang hasil perilaku bumi serta seisinya termasuk manusia sebagai subjek pelaku yang dominan dan bumi sebagai objek yang hendak mencapai keseimbangan berikutnya ataupun ini akan musnah seperti yang dikatakan sebagai kiamat.
 
     Saat ini kita sebagai anak bangsa yang selamat dari keseimbangan alam sebelumnya (masa Jurassic, Banjir Besar dan pergerakan lempeng tektonik dunia) sudah semestinya melakukan persiapan untuk menghadapi keseimbangan alam berikutnya, walau dengan berbagai resiko dan tantangan yang akan dihadapi,  bangsa Indonesia ini tengah terus dihadapkan pada kenyataan-kenyataan tentang fenomena gejala alam, baik kategori bencana alam ataupun bukan, ataukah Indonesia sebagai mutiara dari khatulistiwa akan tenggelam dan hilang seperti keberadaan Atlantis dalam cerita Plato? atau bahkan musnah dan tenggelam seperti Eden in the East,ungkap Oppenheimer. Tentulah ini bukan jawaban namun pekerjaan rumah yang harus kita pikirkan dan kerjakan bersama-sama, tidak esok hari,  tapi segera.
 
Mendengar kata “Sunda” pasti di dalam benak kita akan merujuk kepada yang namanya salah satu suku bangsa di Indonesia dan bahasa yang digunakannya tanpa tahu apa arti dan siapa yang memberikan kata tersebut.   1.       Arti dari istilah Sunda a.       Arti “Sunda” dalam Bahasa Sansakerta Menurut Bahasa Sansekerta yang merupakan induk bahasa-bahasa Austronesia, terdapat 6 (enam) arti kata Sunda, yaitu sebagai berikut: ·         Sunda dari  akar kata “Sund” artinya bercahaya, terang benderang; ·         Sunda adalah nama lain dari Dewa Wisnu sebagai pemelihara alam; ·         Sunda adalah nama Daitya, yaitu satria bertenaga besar dalam cerita Ni Sunda dan Upa Sunda; ·         Sunda adalah satria wanara yang terampil dalam kisah Ramayana; ·         Sunda dari kata cuddha artinya yang bermakna putih bersih; ·         Sunda adalah nama gunung dahulu di sebelah utara kota Bandung sekarang (Prof.Berg, juga R.P Koesoemadinata, 1959).   b.       Arti “Sunda” dalam Bahasa Kawi Dalam Bahasa Kawi terdapat 4 (empat) makna kata “Sunda”, yaitu: ·         Sunda berarti “air”, daerah yang banyak air; ·         Sunda berarti “tumpukan” bermakna subur; ·         Sunda berarti “pangkat” bermakna berkualitas; ·         Sunda berarti ”waspada” bermakna hati-hati.   c.       Dalam Bahasa Jawa: Dalam Bahasa Jawa arti kata “Sunda” adalah sebagai berikut: ·         Sunda berarti “tersusun “ maknanya  tertib; ·         Sunda berarti “bersatu” ( dua menjadi satu) maknanya hidup rukun; ·         Sunda berarti “angka dua” (cangdrasangkala), bermakna seimbang; ·         Sunda, dari kata “unda” atau  “naik”, bermakna kualitas hidupnya selalu naik; ·         Sunda berasal dari kata “unda” yang berarti terbang, melambung, maknanya disini adalah  semakin  berkualitas.   d.      Arti kata “Sunda” dalam Bahasa Sunda Orang Sunda juga memiliki beberapa arti tentang kata “Sunda” itu sendiri, yaitu: ·         Sunda, dari kata “saunda”,  berarti lumbung, bermakna subur makmur; ·         Sunda, dari kata “sonda”,  berarti bagus; ·         Sunda,  dari kata “sonda”,  berarti unggul; ·         Sunda, dari kata “sonda”,  berarti senang; ·         Sunda, dari kata “sonda” berarti bahagia; ·         Sunda, dari kata “sonda”, berarti sesuai dengan keinginan hati; ·         Sunda, dari kata “sundara”,  berarti lelaki yang tampan; ·         Sunda, dari kata “sundari”, berarti wanita yang cantik; ·         Sunda, dari kata “sundara” nama Dewa Kamajaya: penuh rasa cinta kasih; ·         Sunda berarti indah.   2.       Purnawarman dan Istilah Sunda      Maharaja Purnawarman adalah raja Tarumanagara yang ketiga (395-434 M). Ia membangun ibukota kerajaan baru pada tahun 397 yang terletak lebih dekat ke pantai. Dinamainya kota itu Sundapura, pertama kalinya nama "Sunda" digunakan. Pada tahun 417 ia memerintahkan penggalian Sungai Gomati dan Candrabaga sepanjang 6112 tombak (sekitar 11 km). Selesai penggalian, sang prabu mengadakan selamatan dengan menyedekahkan 1.000 ekor sapi kepada kaum brahmana.        Kalau kita pahami dan mencerna lebih mendalam tentang arti-arti kata “Sunda” yangdiberikan oleh Purnawarman di atas nampaknya kita tidak menemukan sebuah arti jelek atau kurang baik. Selama ini banyak orang yang mengatakan apa arti sebuah nama?, namun ada juga orang yang mengatakan bahwa nama merupakan sebuah do’a. terlepas dari semuanya itu, yang pasti manusia secara mendasar tidak menginginkan sesuatu itu jelek atau buruk, mereka selalu mengharapkan kebaikan, keindahan atau kesempurnaan. Maka untuk itu Purnawarman yang memberikan nama istilah “Sunda”, tentunya menghendaki adanya kebaikan terhadap apa yang diberinya nama.   3.       Hubungan nama dan pandangan hidupnya.      Tujuan dan harapan dari kata “Sunda” tetunya mengharapkan kebaikan dalam berbagai aspek di masyarakat. Hanya sebuah nama tentunya tidak akan berarti apabila tidak diiringi dengan pandangan hidup masyarakatnya yang diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Untuk mendukung dari nama yang baik itu tentunya masyarakat harus menciptakan norma-norma kemasyarakatan, agar tujuan dari pemberian nama tersebut dapat berhasil.        Norma-norma tersebut merupakan salah satu aspek dari pandangan hidup yang sudah barang tentu dimiliki oleh setiap kelompok masyarakat bahkan semua bangsa di muka bumi ini. Masalah pandangan hidup suatu bangsa merupakan persoalan yang sangat asasi bagi kekokohan dan kelestarian suatu bangsa. Karena, dalam pandangan hidup ini terkandung konsep dasar mengenai kehidupan yang dicita‑citakan oleh sesuatu bangsa, terkandung pikiran-pikiran terdalam dan gagasan suatu bangsa mengenai wujud kehidupan yang dianggap baik. Pandangan hidup suatu bangsa merupakan suatu kristalisasi dari nilai-nilai yang dimiliki oleh bangsa itu sendiri, yang diyakini kebenarannya dan menimbulkan tekad pada bangsa itu untuk mewujudkannya.        Masyarakat Sunda sebagai kelompok masyarakat budaya yang sudah tua dan mampu bertahan hingga kini kiranya memiliki pandangan hidupnya sendiri dan dapat hidup dalam kemandiriannya di tengah-tengah masyarakat dan budaya lainnya. Pandangan hidup itu mencakup unsur-unsur tentang manusia sebagai pribadi, hubungan manusia dengan lingkungan masyarakatnya, hubungan manusia dengan alam, hubungan manusia dengan Tuhan, dan tentang manusia dalam mengejar kemajuan lahiriah dan kepuasaan batiniah.        Munculnya pandangan hidup ini tentunya sebuah harapan agar terciptanya sebuah kesinambungan antara nama dengan tingkah laku masyarakatnya. Nama sunda yang sudah baik, tidak akan terlaksana baik apa bila masyarakatnya tidak memiliki pandangan hidup yang baik, padangan hidup ini harus menjadi sebuah norma sehingga masyarakatnya benar-benar mentaatinya dan tujuan akhirnya adalah tercipta kebaikan dalam masyarakatnya seperti apa yang tersirat dalam arti nama sunda.   4.       Bagimana pandangan hidup orang Sunda mengatur hubungan antara manusia dengan sesama manusia, agar tujuan dari arti nama “Sunda” itu dapat tercapai?   1)      Kawas gula jeung peueut “seperti gula dengan nira yang matang” artinya : hidup rukun sayang menyayangi, tidak pernah berselisih.   2)   Ulah kawas seuneu jeung injuk “jangan sepert api dengan ijuk” Artinya: jangan mudah berselisih.agar pandai mengendalikan napsu-napsu negatif yang merusak hubungan dengan orang lain.   3)   Ulah nyieun pucuk ti girang “jangan merusak tunas dari hulu” Artinya: jangan mencari bibit permusuhan   4)      Ulah neundeun piheuleut ulah nunda picela “jangan menyimpan jarak jangan menyimpan cela” Artinya: jangan mengajak orang lain untuk melakukan kejelekan dan permusuhan.   5)      Bisi aya ti geusan mandi kalau-kalau ada dari tempat mandi” Artinya: segala sesuatu harus dipertimbangkan agar pihak lain tidak tersinggung. 6)      Henteu asa jeung jiga “tidak merasa sangsi dan ragu” Artinya: sudah merasa seperti saudara, bersahabat   7)      Yén ana perkara ajang dhéng buka (Jawa-Cirebon) “jika ada perkara jangan dibuka” Artinya: jika kita mengetahui sesuatu kejelekan orang lain, hal itu Janganlah disebarluaskan.            Kita melakukan suatu kebajikan ataupun kebaikan terhadap orang lain atau seseorang harus merupakan kesadaran dari diri kita sendiri, jangan sekedar terbawa­bawa saja, seperti tampak dalam contoh berikut ini: 8)             Ulah rubuh-rubuh gedang “jangan rebah seperti papaya” Artinya: janganlah mengerjakan pekerjaan tanpa mengetahui apa maksud dan tujuannya, hanya karena orang lain melakukannya.       Penampilan tingkah laku orang Sunda dalam pergaulan hendaknya saling mencintai, saling menghargai, sopan-santun, saling setia dan jujur disertai kerelaan, sesuai ‘folkways’ yang mencakup aturan hidup/kehidupan sosial, sopan-santun, dan kesusilaan. Sebagaimana tampak dalam ungkapan berikut ini: 9)      Ngadeudeul ku congo rambut “memberi bantuan dengan ujung rambut” Artinya: memberi sumbangan atau bantuan kecil, tetapi disertai kerelaan atau dengan ikhlas hati.   10)     Pondok jodo panjang baraya “pendek jodoh panjang persaudaraan” Artinya: meskipun sebagai suami istri sudah berpisah, hendaknya persaudaraan tetap dilanjutkan/dipertahankan. (ditambah ungkapan nomor 2)        Masyarakat Sunda sering menghindari hal-hal perselisihan, menghindari menghasut dan melibatkan orang lain ke dalam perselisihan, sebagaimana tampak dalam ungkapan Nomor 2,3, dan Selain itu, ada juga ungkapan sebagaimana berikut ini.   11) Ulah marebutkeun balung tanpa eusi “jangan memperebutkan tulang tanpa isi” Artinya: jangan memperebutkan perkara yang tidak ada gunanya’     12)Ulah ngadu-ngadu raja wisuna “jangan membangkitkan amarah” Artinya: jangan membangkitkan bibit kemarahan antara dua orang agar pecah persahabatannya/berpisah bersahabat.        Hidup rukun dan damai akan tercapai apabila dalam kehidupan bermasyarakat kita saling sayang-menyayangi, saling hormat-menghormati, dan tidak memancing keresahan dan kemarahan orang lain, seperti tampak pada ungkapan nomor 3 dan 7 di samping ungkapan berikut ini:   13) Ulah ngaliarkeun taleus ateul “jangan menyebarkan talas gatal” Artinya: jangan menyebarkan perkara yang dapat menimbulkan keburukan/keresahan.         Selain itu, di dalam proses interaksi sosial antara individu yang satu dengan individu lainnya, dalam masyarakat Sunda tidak boleh menyinggung perasaan orang lain yang akan mengakibatkan perpecahan di antara anggota masyarakat itu sendiri. Seperti terungkap dalam data nomor 5 dan ungkapan berikut ini: 14) Ulah nyolok mata buncelik “jangan mencolok mata yang melotot” Artinya: jangan berbuat sesuatu di hadapan orang lain, dengan maksud mempermalukan orang lain.   15) Ulah biwir nyiru rombengeun “bibir jangan seperti niru yang rusak dan sobek-sobek” Artinya: janganlah membicarakan sesuatu yang tidak pantas terdengar oleh orang lain, senantiasa mengendalikan diri dalam bertutur kata.         Sesuai dengan sosial solidaritas, bahwa dalam berkehidupan bermasyarakat kita tidak boleh mementingkan diri sendiri tetapi harus mendahulukan kepentingan masyarakat dan keputusan pribadi yang tidak menguntungkan, sesuai dengan sikap yang dikehendaki oleh masyarakat Sunda yang tidak boleh mementingkan diri sendiri, sebagaimana tampak dalam ungkapan berikut ini: 16) Buruk-buruk papan jati “betapa pun lapuknya kayu jati itu kuat” Artinya: betapapun besar kesalahan saudara atau sahabat, mereka tetap saudara kita, orang tua tentu dapat mengampuninya.   17) Kaciwit daging kabawa tulang “tercubit kulit dagingpun terbawa” Artinya: ikut tercemar karena perbuatan salah seorang sanak keluarga   18)Ulah mapay ka puhu leungeun “jangan menyusur ke pangkal lengan” Artinya: janganlah kesalahan anak membawa buruk kepada orang tuanya.        Manusia di muka bumi ini sesuai dengan ajaran agama diwajibkan saling hormat-menghormati, dan saling harga menghargai dengan sesama manusia, sesuai pula dengan sila Pancasila. Dalam masyarakat Sunda pun hal itu tercermin pada ungkapan berikut ini: 19)      Wong asih ora kurang pangalé, wong sengit ora kurang panyacad “orang pengasih tidak kurang pujian, orang yang jelek (pemarah) tidak kekurangan celaan” Artinya: orang yang pengasih kepada yang lain akan disenangi, dan orang yang bengis akan dibenci.   20) Ana deleng dén deleng, anu rungu dén rungu “ada penglihatan dilihat, ada pendengaran didengar” Artinya: jika ada sesuatu lihatlah atau dengarlah dengan patuh, tetapi janganlah dilihat atau didengar dengan tujuan jelek.        Data ungkapan yang telah disajikan, yang merupakan pencerminan dari adanya hubungan antara manusia dengan sesama manusia dalam masyarakatnya sesuai dengan pandangan hidup orang Sunda, juga dengan folkwas, solidarity social, juga tentang fungsi keluarga dan tatasosial dalam masyarakat Sunda.   5.       Bagimana pandangan hidup orang Sunda mengatur hubungan anatara manusia dengan Negara dan bangsa?        Hubungan antara manusia dengan negara dan bangsanya, menurut pandangan hidup orang Sunda, hendaknya didasari oleh sikap yang menjungjung tinggi hukum, membela negara, dan menyuarakan hati nurani rakyat. Pada dasarnya tujuan hukum yang berupa hasrat untuk mengembalikan rasa keadilan, yang bersifat menjaga   1.      Kudu nyanghulu ka hukum, nunjang ka nagara, mupakat ka balaréa. “‘harus mengarah kepada hukum, mengarah ke kaki negara, bermupakat kepada orang banyak” Artinya: harus menjungjung tinggi hukum, berpijak kepada ketentuan negara, dan bermupakat kepada kehendak rakyat.        Masyarakat Sunda memetingkan kerja sama dalam kekeluargaan demi kelangsungan dan kesejahteraan hidup masyarakatnya, sebagaimana tampak dalam ungkapan nomor 8 dan ungkapan berikut ini: 2.    Bengkung ngariung bongkok ngaronyok “melingkar/lengkung dalam berkumpul bungkuk dalam berhimpun” Artinya: bersama-sama dalam suka dan duka.        Dalam hidup bermasyarakat, di dalam masyarakat Sunda kita dituntut agar dapat mengerjakan sesuatu itu lebih mementingkan masyarakat, bangsa, dan negara, sebagaimana tercermin dalam ungkapan berikut ini: 3.      Kudu inget ka bali geusan ngajadi “harus ingat kepada tempat kejadian” Artinya: harus selalu ingat ke tempat dilahirkan/kelahira   4.     Lain palid ku cikiih, lain datang ku cileuncang   “bukan hanyut karena air kencing, bukan datang karena air hujan”  Artinya: bukan hadir tanpa tujuan   5.     Dén hormat maring pusaka, leluhur, wong atua karo, guru, lan ratu. “harus hormat terhadap pusaka, leluhur, kedua orang tua, guru, dan raja” Artinya: pusaka leluhur, kedua orang tua, guru, dan raja harus dihormati.        Masalah yang tidak kurang pentingnya dalam kehidupan masyarakat Sunda ialah bahwa kita harus menjungjung tinggi keadilan dan kebenaran. Seperti tercermin dalam ungkapan berikut ini: 6.     Nyuhunkeun bobot pangayon timbang taraju “memohon pertimbangan” Artinya: memohon pertimbangan dan kebijaksanaan yang seadil-adilnya, memohon ampun.   7.      Yén ana angin bolang-baling, aja gandulan wit ing kiara, tapi gandulana suket sadagori. “ jika ada angin ribut, jangan berpegang pada kiara, tetapi peganglah tumbuhan sadagori” Artinya: jika terjadi huru-hara, janganlah berpegang pada yang besar atau berkuasa, tetapi berpeganglah kepada sesuatu yang sering dianggap kecil, yakni kebenaran.   8.    Sakunang ananing geni, sadom ananing baraya “walaupun sebesar kunang-kunang adalah api, walaupun seujung jarum adalah senjata” Artinya: sekecil apapun milik negara itu harus tetap dipertanggungjawabkan.        Dari hubungan antara manusia dengan negara dan bangsanya, kita dituntut agar taat dan patuh terhadap norma-norma dan aturan-aturan yang dikeluarkan oleh agama atau pemerintah. Mengenai norma dan aturan dalam masyarakat Sunda dapat dilihat dalam ungkapan nomor 27 dan ungkapan berikut ini.   9.      Aja nolak kandika pandita ratu “jangan menolak perintah pendeta/raja” Artinya: turutilah segala perintah/keputusan atau aturan ulama dan pemerintah.         Ungkapan pandangan hidup yang ada di atas jelas melambangan sebuah harapan agar masyarakat Sunda menjadi manusia yang baik secara individu maupun secara kelompok. Paribahasa atau ungkapan yang diuraikan diatas merupakan sebuah bentuk terjemahan dari arti “Sunda”. Namun yang jadi masalah sekarang adalah apakah arti nama dan pandangan hidup itu sudah dilaksanakan oleh masyarakat Sunda? Pertanyan Besar ini tidak perlu di jawab disini, semua orang bisa menilai diri pribadi masing-masing. Kalaupun arti nama dan pribahasa itu belum di jalankan bukan salah orang-orang pendahulu memberikan nama, tetapi lebih kepada individu masing-masing.   
 
Pendiri Wangsa Isana     


Pu Sindok (sering ditulis Mpu Sindok) sebenarnya merupakan kerabat Kerajaan Medang i Bhumi Mataram di Jawa Tengah (lazim disebut Kerajaan Mataram Kuno). Dirinya menjabat sebagai Rakryan Mapatih i Hino pada masa pemerintahan Rakai Sumba Dyah Wawa yang memerintah di Kerajaan Medang i Bhumi Mataram selama 928-929 Masehi. Sebelum masa Rakai Dyah Wawa, yakni pada masa pemerintahan Rakai Layang Dyah Tlodhong atau Tulodong (919-?), Pu Sindok telah menjabat sebagai Rakryan Mapatih i Halu. Jabatan-jabatan seperti itu dipastikan hanya boleh diduduki oleh keluarga atau kerabat istana. Ia bisa putra mahkota, menantu raja, adik, paman, kemenakan, yang masih memiliki hubungan darah dengan raja. Dengan demikian, Pu Sindok sejak lahir berdarah bangsawan dan birokrat .       Wangsa yang didirikan Pu Sindok disebut Wangsa Isana. Istilah Wangsa Isana tertera dalam Prasasti Pucangan, prasasti yang dikeluarkan Raja Airlangga pada 963 Saka (1041 M). Prasasti yang berbahasa Sansekerta ini dimulai dengan penghormatan terhadap Brahma, Wisnu, Siwa, yang disusul dengan penghormatan terhadap Raja Airlangga pribadi. Selanjutnya dimuat silsilah Raja Airlangga, mulai dari Raja Sri Isanatungga atau Pu Sindok. Sri Isanatunggawijaya, yang menikah dengan Sri Lokapala, dan memiliki anak bernama Sri Makutawangsawarddhana, dan disebut sebagai keturunan Wangsa Isana. Dengan membaca teks Prasasti Pucangan, dapat diperoleh keterangan bahwa pendiri Wangsa Isana adalah PuSindok Sri Isanawikramma Dharrmotunggadewa.       Posisi Pu Sindok dalam silsilah keluarga raja-raja yang memerintah di Mataram memang dipenuhi kontroversi. Poerbatjaraka menilai bahwa Pu Sindok adalah menantu Dyah Wawa, berdasarkan Prasasti Cunggrang yang menyebut “sang siddha dewata rakryan bawa yayah rakryan binihaji sri parameswari dyah kebi” (yang telah diperdewakan, Rakryan Bawa, ayah Sri Parameswari Dyah Kebi. Rakryan Bawa diidentifikasikan oleh Poerbatjaraka sebagai Rakai Sumba Dyah Wawa. Poerbatjaraka juga mengemukakan alasan lain, bahwa Pu Sindok bergelar abhiseka yang mengandung unsur kata dharma, yang menurutnya menunjukkan bahwa raja yang gelarnya begitu naik takhta karena perkawinan. Selain itu tertulis juga nama Rakryan Bawang Dyah Srawana yang bisa juga dianggap ayah Dyah Kebi.        Akan tetapi, Stutterheim membantah pendapat Poerbatjaraka dengan mengatakan bahwa pertama: nama Bawa harus dibaca Bawang, karena jelas ada anuswara di atas huruf wa. Lagi pula, Raja Wawa tak pernah bergelar Rakai atau Rakryan Wawa, melainkan Rakai Sumba atau Rakai Sumba Pangkaja Dyah Wawa. Selain itu, kata kbi pada prasasti itu harus diartikan “nenek”. Jadi, Sutterheim menyimpulkan bahwa yang diperdewakan di Cunggrang tak lain adalah Rakryan Bawang Pu Partha, nama yang selalu muncul dalam prasasti-prasati keluaran Rakai Kayuwangi, ayah dari nenek Pu Sindok. Nenek Pu Sindok adalah permaisuri Daksa, yang disebut dalam Prasasti Limus (Sugih Manek) bertahun 837 Saka (915 M). Jadi, Pu Sindok adalah cucu Daksa. Dengan begitu, Pu Sindok memang pewaris sah dari Kerajaan Medang di Bhumi Mataram di Jawa Tengah, tanpa harus menikah dengan seorang putri raja mana pun.  

Maharaja di Tamwlang      

Pada masa pemerintahan Dyah Wawa, antara 928-29 M, terjadi sebuah bencala besar: meletusnya Gunung Merapi. Letusan gunung ini membawa malapetaka yang mematikan: gempa bumi, banjir lahar, hujan abu, dan batu-batuan yang mengerikan menimpa apa pun yang berada di sekitarnya, termasuk wilayah Bhumi Mataram yag berada di sebelah baratdaya gunung tersebut. Kerusakan akibat letusan Merapi yang melanda ibukota Medang, yakni Bhumi Mataram, menyebabkan kerabat istana dan rakyat yang selamat mengungsi ke wilayah timur. Ada pendapat yang menyebutkan bahwa Bhumi Mataram itu terletak di sekitar Magelang (di sini kini masih terdapat sebuah desa bernama Medangan), Jawa Tengah; ada pula yang menduga di sekitar Yogyakarta; dan ada pula yang menganggap bahwa wilayah Temanggung, Magelang, Bantul, Sleman, dan Klaten (kelimanya berada di Magelang dan Yogyakarta) merupakan wilayah budaya Bhumi Mataram.         Di wilayah timur ini, ada wilayah Kanuhuruhan yang penguasanya tunduk kepada Bhumi Mataram. Maka, Pu Sindok pun leluasa membangun ibukota baru di Tamwlang, sekitar Jombang sekarang, Jawa Timur. Keterangan ibukota di Tamwlang ini terdapat di Prasasti Turyyan. Sesuai pengetahuan kosmogonis pada masa itu, Pu Sindok merasa perlu mendirikan wangsa baru dengan tempat-tempat pemujaan baru, karena menilai peristiwa meletusnya Gunung Merapi sebagai kehancuran dunia (pralaya) pada akhir masa Kaliyuga. Dalam dunia kosmogonis masyarakat Jawa silam, bila seorang raja hancur oleh serangan raja lain atau oleh bencana alam, maka periode itu disebut pralaya dan telah ditentukan oleh Dewa.        Rupanya, kerajaan baru yang didirikan Pu Sindok tetap bernama Medang I Bhumi Mataram, seperti yang termaktub dalam Prasasti Paradah yang bertarikh 865 Saka (943 M) dan Prasasti Anjukladang yang bertahun 859 Saka (937 M). Prasasti Turyyan bertahun 851 Saka (929 M) memberitakan bahwa ibukota pertama dari Medang versi Pu Sindok adalah Tamwlang (“sri maharaja makadatwan I tamwlang”). Di sini jelas bahwa Pu Sindok telah mengangkat diri sebagai raja baru yang berpusat di Tamwlang. Kini, di Kab. Jombang, Jawa Timur, terdapat Desa Tambelang di wilayah kecamatan yang bernama Tambelang juga, yang mana nama desa atau kecamatan itu kemungkinan besar dulunya bernama Tamwlang. Tak ada data tertulis lain yang menyebut nama Tamwlang selain prasasti ini.         Setelah dari Tamwlang, berdasarkan Prasasti Paradah dan Prasasti Anjukladang, ibukota kerajaan lalu berpindah ke Watugaluh, masih sekitar Jombang.  

Pindah ke Watugaluh     

  Prasasti Anjukladang yang bertahun 937 M menginfromasikan bahwa istana Medang dipindahkan ke wilayah Watugaluh, di tepi Kali Brantas, masih di sekitar Jombang di mana sekarang terdapat kecamatan bernama Megaluh. Hingga kepindahan ke Watugaluh pun, jelas Pu Sindok tak berniat mendirikan kerajan baru. Ini terlihat dari kalimat pada Prasasti Turyyan bahwa “Kita prasiddha mangraksa kadatwan rahyangta i Bhumi Mataram i Watugaluh”. Tulisan ini menunjukkan bahwa ibukota telah berpindah dari Tamwlang ke Watugaluh. Prasati Paradah juga mengatakan: “mdang i bhumi mataram i watugaluh.” Maka dari itu tak berlebihan bila kita menyebut kerajaan dengan ibukota baru ini dengan sebutan Medang i Bhumi Mataram i Watugaluh, yang bisa diartikan sebagai “Medang (yang dulu) di Bhumi Mataram (sekarang berada) di Watugaluh, atau bisa sebagai kerajaan “Medang i Bhumi Mataram (dengan ibukota baru) di Watugaluh.         Pembacaan J.G. de Casparis terhadap Prasasti Anjukladang melahirkan dugaan bahwa pernah ada serbuan dari Malayu ke Jawa. Diberitakan, tentara Malayu bergerak sampai dekat Nganjuk, Jawa Timur, namun berhasil dihalau oleh pasukan Mataram di bawah Pu Sindok langsung yang ketika itu belum menjadi raja (mungkin masih berada di Tamwlang atau mungkin pula masih menjadi pejabat di Bhumi Mataram). Atas jasanya yang begitu besar terhadap kerajaan, Pu Sindok diangkat menjadi raja (apakah ketika masih di Tamwlang atau sudah Watugaluh?). Namun, teks pada Prasasti Anjukladang belum terbaca seluruhnya. Dalam transkripsi Casparis, yang lebih komplit pembacaannya ketimbang transkripsi Brandes, dterangkan bahwa di tempat Sang Hyang Prasada itu dibangun pula jayastambha, yaitu tugu kemenangan.         Hampir tidak adanya prasasti mengenai peristiwa politik/militer pada masa Pu Sindok bukan berarti bahwa pada masa pemerintahan Pu Sindok tidak ada penaklukan atau peperangan terhadap /dengan kerajaan lain. Prasasti Waharu dan Sumbut memungkinkan bahwa pernah terjadi peperangan sebagai usaha penaklukan Pu Sindok terhadap kerajaan-kerajaan kecil. Pun, fakta bahwa pusat pemerintahan selalu berpindah-pindah menggambarkan bahwa pada masa Pu Sindok banyak terjadi penyerang musuh ke dalam ibukota tersebut. 

Perkembangan Keadaan Sosial Ekonomi pada Masa Pu Sindok Berdasarkan Prasasti-prasasti     

Masa pemerintahan Pu Sindok, yang dimulai sekurang-kurangnya sejak 929 M hingga 948 M, banyak meninggalkan peninggalan berupa prasasti, sekitar 20 prasasti, yang sebagian besar tertuang pada batu. Hal ini cukup menggembirakan karena dari benda-benda tersebutlah kita bisa mengetahui kondisi sosial ekonomi pada masa bersangkutan. Pun bukti-bukti tersebut menggambarkan bahwa masa pemerintahan Pu Sindok adalah masa yang cenderung damai di mana banyak diberlakukan sima, wilayah swatantra yang dibebaspajakkan oleh negara.         Menurut C.C. Berg, prasasti yang dibuat atas titah Pu Sindok tersebut berasal dari zaman Dharmmawangsa Airlangga. Raja ini memerlukan legitimasi dari rakyatnya dengan memakai nama Pu Sindok sebagai wangsakara atau leluhurnya pendiri Wangsa Isana sekaligus keturunan istana Mataram Jawa Tengah sebelumnya. Berdasarkan pemikiran itu, maka C.C. Berg berpendapat bahwa tak ada tokoh bernama Pu Sindok dalam sejarah Jawa, ia hanyalah sosok khalayan. Alasan yang dikemukakan Berg adalah karena prasasti-prasasti itu strukturnya sama saja dan membosankan. Namun, sebagian ahli keberatan atas anggapan Berg tersebut. Keberatan itu dikarena atas fakta bahwa memang prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh seorang raja memiliki kesamaan ciri-ciri, yang membedakannya dari prasasti-prasasti yang dibuat oleh raja sebelum dan sesudahnya. Perlu juga dikemukakan bahwa pendarmaan Pu Sindok tercantum dalam Prasasti Kamalagyan dan Prasasti Pucangan, yakni Isanabhawana. Jadi, jelas bahwa pendapat Berg tak dapat dipertahankan, karena tak mungkin seseorang didarmakan bila orang bersangkutan tak pernah hidup dalam sejarah umat manusia.        Bila prasasti-prasasti peninggalan Pu Sindok dibaca, maka akan diketahui bahwa isinya sebagian besar memberitakan penetapan sima bagi suatu bangunan suci, yang kebanyakan dilakukan atas permintaan pejabat atau rakyat suatu desa. Wilayah yang ditetapkan atas perintah raja sendiri menjadi sima hanyalah Desa Linggasutan dan sawah kakatikan(?) di Anjuklandang. Dalam Prasasti Linggasutan yang bertarikh 815 Saka (929 M) disebutkan bahwa raja telah memerintahkan agar Desa Linggasutan yang termasuk wilayah Rakryan Hujung, dengan penghasilan pajak sebanyak 3 (?) emas dan kewajiban kerja bakti seharga 2 masa setiap tahunnya, ditetapkan sebagai sima dan dipersembahkan kepada bhatara di Walandit untuk membiayai biaya pemujaan terhadap Bhatara i Walandit (Bhatara di Walandit) setiap tahunnya.         Prasasti Anjukladang bertarikh 859 Saka (937 M) memberitakan bahwa Raja Pu Sindok telah memerintahkan tanah sawah kakatikan di Anjukladang untuk dijadikan sima, dan dipersembahkan kepada Bhatara di Sanghyang Prasada Kabhaktyan di Sri Jayamerta, darma dari Samgat Anjukladang. Kerusakan pada bagian atas dari prasasti ini membuat kita tak tahu apa jasa penduduk Desa Anjukladang sehingga mendapatkan anugerah raja.        Nama Bhatara i Walandit pun dijumpai pada Prasasti Muncang bertahun 866 Saka (944 M). Prasasti ini memperingati perintah raja dalam menetapkan sebidang tanah di sebelah selatan pasar di Desa Muncang yang termasuk wilayah Rakryan Hujung, menjadi sima oleh Samgat (…) Dang Acarya Hitam, untuk mendirikan prasada kebhaktyan bernama Siddhayoga, tempat para pendeta melakukan persembahan kepada Bhatara setiap hari, dan mempersembahkan bunga kepada Bhatara di Sang Hyang Swayambhuwa di Walandit.        Tampaknya Rakryan Hujung, yang bernama Pu Madhuralokaranjana, lumayan besar perannya dalam bidang keagamaan. Dalam Prasasti Gulung-gulung bertarikh 851 Saka (929 M) Rakryan Hujung memohon kepada raja agar diperkenankan menetapkan sawah di Desa Gulung-gulung dan sebidang hutan di Bantara sebagai sima. Permohonan ini bertujuan menjadikan sawah dan hutan tersebut sebagai dharmmaksetra (tanah wakaf) bagi bangunan suci Rakryan Hujung yaitu mahaprasada di Himad. Penghasilan sawah tersebut juga diperuntukkan bagi persembahan kepada Sang Hyang Kahyangan di Pangawan, berupa seekor kambing dan 1 pada beras, yang diadakan setahun sekali pada waktu ada upacara pemujaan bagi Bhatara di Pangawan itu. Hal ini disebabkan, dahulu di Kahyangan di Pangawan itu ada di Gunung Wangkedi. Oleh karena itu, sebenarmya hanya ada satu bhatara dipuja, baik di Pangawan maupun di Himad. Bila di Pangawan tengah diadakan pemujaan, Himad mengikuti apa yang terjadi di Pangawan, begitu pun sebaliknya. Pemujaan di kedua bangunan suci itu dilakukan pada tiap equinox, yakni pada saat matahari melintasi garis khatulistiwa pada Maret dan September. Dalam Prasasti Gulung-gulung terdapat pula beberapa nama tempat sima lainnya, yaitu di Batwan, di Guru, di Air Gilang, di Gapuk, dan di Mbang (?), yang juga wajib memberikan persembahan kepada Sang Hyang Prasada di Himad pada tiap equinox, dengan perincian kewajiban masing-masing daerah tersebut.            Dalam Prasasti Jeru-jeru bertarikh 852 Saka (930 M), Rakryan Hujung memohon raja agar diperkenankan menetapkan Desa Jeru-jeru, yang merupakan anak Desa Linggasutan yang termasuk wilayah Rakryan Hujung sendiri, menjadi tanah wakaf berupa sawah bagi bangunan suci Rakryan Hujung, yaitu Sang Sala di Himad. Permohonan tersebut dikabulkan sang raja.          Bangunan suci di Walandit yang memperoleh beberapa daerah atas persetujuan dan perintah Pu Sindok, ternyata masih ada ketika zaman Majapahit. Hal ini dinyatakan dalam Prasasti Himad/Walandit, yang meski tak berangka tahun namun dikeluarkan pada waktu Gajah Mada menjabat rakryan mapatih di Jenggala dan Kadiri. Prasasti ini menyebutkan persengketaan antara penduduk Desa Walandit dengan penduduk Desa Himad mengenai status dharma kabuyutan di Walandit, yang oleh penduduk Walandit dianggap swatantra dan mereka berhak penuh atas Desa Walandit, sebagaimana telah dikukuhkan oleh prasasti yang bercap kerajaan Pu Sindok.        Casparis berpendapat bahwa Walandit kini terletak di Desa Wonorejo, Kec. Pakis, Kab. Malang, Jawa Timur. Sebelumnya, Desa Wonorejo bernama Desa Walandit, dan pada awal abad ke-20 peta topografi buatan Belanda (1918-1923) dijumpai dukuh bernama Blandit yang termasuk wilayah Desa Wonorejo. Jadi, bila Prasasti Pucangan menyebutkan sang hyang swayambhuwa, bangunan suci itu diidentifikasikannya dengan suatu candi untuk pemujaan Gunung Bromo, karena Swayambhuwa tak lain nama dari Dewa Brahma, dan kenyataannya bahwa Desa Wonorejo terletak tak seberapa jauh dari Gunung Bromo.         Penetapan sima atas permohonan pejabat atau rakryan dijumpai dalam beberapa prasasti lain. Misalnya, penetapan sebidang sawah di Desa Paradah menjadi sima kabikuan oleh warga Wahuta di Paradah. Pembelian sawah dan tanah pagagan di Taging di Desa Paradah oleh Sang Sluk untuk dijadikan sima dan dipersembahkan kepada Sang Hyang Dharmma Kamulan, merupakan tindakan amal Sang Sluk (i punya sang sluk) dan agar hendaknya turun-temurun pada anak cucu cicit piutnya. Ada pula permohonan Dang Acaryya (?) kepada raja untuk mengukuhkan status sima kabikuan di Poh Rinting. Juga penetapan sebidang sawah kakatikan di Desa Hering yang masuk wilayah Margganung, tetapi di bawah kekuasaan Wahuta Hujung, dan tanah perumahan sebagai sima oleh Samgat Margganung Pu Danghil bagi sebuah biara yang telah dibeli oleh Pu Danghil dan istrinya yang bernama Dyah Pendel seharga 16 suwarna emas. Ada pula kegiatan amal persembahan Dapungku I Manapujamna berupa sebidang sawah untuk dijadikan sima bagi Sang Hyang Prasada Kabhaktyan di daerah Pangurumbigyan di Kampak (angka tahun di Prasasti Kampak tak bisa terbaca).          Prasasti Turyyan berangka tahun 851 Saja (929) memberitakan permohonan Dang Atu Pu Sahitya dalam usaha memperoleh sebidang tanah bagi pembuatan bangunan suci. Permohonannya dikabulkan raja. Dang Sahitya pun memperoleh sebidang sawah di Desa Turyyan yang menghasilkan pajak sebesar 2 suwarna emas. Pajak yang dihasilkan Desa Turyyan setahun adalah 1 kati dan 2 suwarna emas: yang 3 suwarna itulah yang dianugerahkan kepada Dang Atu Pu Sahitya. Pajak tersebut ditambah dengan sebidang tanah tegalan di sebekah barat sungai dan tanah di sebelah utara pasar Desa Turyyan. Ada pun tempat di sebekah barat sungai itu dipergunakan untuk mendirikan bangunan suci, dan penduduknya hendaknya bekerja bakti membuat bendungan terusannya sungai tadi, mulai dari Air Luah; sedangkan tanah di sebelah utara pasar itu untuk kamulan dan pajak yang 3 suwarna emas itu, sebagai sumber biaya pemeliharaan bangunan suci. Selebihnya tanah tersebut dijadikan tambahan sawah sima bagi bangunan suci itu. Prasasti Turyyan hingga kini masih berada di tempat aslinya, yaitu Dukuh Watu Godeg, Kel. Tanggung, Kec. Turen (dari kata Turyyan tentu), Kab. Malang, Jawa Timur. Belum ada penelitian yang berusaha mengungkapkan di mana letak bendungan (atau waduk?) di masa Pu Sindok itu.        Prasati lain, yaitu Prasasti Wulig bertahun 856 Saka (935 M) memberikan peringatan pembuatan bendungan. Prasasti ini memuat perintah Rakryan Binihaji Rakryan Mangibil—tampaknya istri atau salah satu selir Pu Sindok, kepada Samgat Susuhan agar memerintahkan penduduk Desa Wulig (Pangiketan, Padi Padi, Pikatan, Panghawaran, dan Busuran) untuk membuat bendungan, dengan peringatan hendaknya jangan ada yang berani mengusiknya atau menyatukan bendungan itu (?) tidak … di waktu malam, dan mengambil ikannya di waktu siang. Pada 8 Januari 935 M, Rakryan Binihaji meresmikan ketiga bendungan yang ada di Desa Wuatan Wulas dan Wuatan Tamya.         Ada pula nama permaisuri Pu Sindok yang lain yang juga namanya tertera pada prasasti, yaitu Rakryan Sri Parameswari Sri Warddhani Pu Kbi. Prasasti-prasasti tersebut adalah Prasasti Geweg tahun 855 Saka (933 M) dan Prasasti Cunggrang bertahun 851 Saka (929 M). Pada Prasasti Geweg disebutkan pula nama suaminya, Rakryan Sri Mahamantri Pun Sindok (belum bergelar maharaja). Sedangkan dalam Prasasti Cunggrang, permaisuri itu bergelar Rakryan Binihaji Sri Parameswari Dyah Kbi. Stutterheim berpendapat bahwa Dyah Kbi atau Pu Kbi bukanlah permaisuri Pu Sindok, melainkan neneknya. Akan tetapi, Poesponegoro (2008: 192) keberatan atas pendapat Stutterheim tersebut karena melihat adanya istilah binihaji dan parameswari sebagai gelar Pu atau Dyah Kbi.         Prasasti Cunggrang memuat perintah Pu Sindok dalam menetapkan Desa Cunggrang yang masuk wilayah Bawang, di bawah pemerintahan langsung Wahuta Wungkal, dengan penghasilan pajak sebanyak 15 suwarna emas, dan kewajiban kerja bakti senilai dua kupang, dan katik sebanyak … orang, untuk menjadi sima bagi pertapaan di Pawitra dan bagi bangunan suci tempat pemujaan arwah Rakryan Bawang yang telah diperdewakan, yaitu ayah dari permaisuri raja yang bernama Dyah Kebi (sang hyang prasada silunglung sang siddha dewata rakryan bawang, ayah dari rakryan binihaji sri parameswari dyah kbi). Kewajiban penduduk daerah yang dijadikan sima itu adalah memelihara pertapaan dan prasada, juga memperbaiki bangunan pancuran di Pawitra (umahayua sang hyang tirtha pancuran pawitra).         Dikabarkan pula ada sawah pakarungan (?) di Pamuatan seluas 2 suku (jung), dan di Kasungkan seluas 2 suku, serta katik sebanyak … orang, sebagai augrah raja kepada permaisurinya, yang ikut dijadikan sima sebagai sumber pembiayaan pemujaan arwah mertua (Rakryan Bawang) di Prasada, dan biaya pemujaan di pertapaan di Tirtha pada tanggal 3 setiap bulannya, dan biaya persembahan caru setiap harinya. Dengan ditetapkannya Desa Cunggrang sebagai sima punpunan, ia tidak lagi diperintah oleh Rakryan Bawang Watu (atau Rakryan Jasun Wungkal). Dengan menganggap Dyah Kebi sebagai permaisuri Pu Sindok, besar kemungkinan bahwa Rakryan Bawang, ayah sang permaisuri, adalah Rakryan Bawang Dyah Srawana yang dijumpai pada prasasti-prasasti Raja Rakai Watukura Dyah Balitung.        Ada pula penetapan sima yang bukan atas perintah raja, melainkan oleh Rakryan Kanuruhan Dyah Mungpah. Ia menganugerahkan sebidang sawah di (?) yang termasuk wilayah Kanuruhan kepada Sang Bulul agar digunakan untuk menanam bunga-bungaan, sebagai tambahan kepada alamnya (?). tampaknya Sang Buhul telah bernazar demikian, maka pada waktu ia memohon kepada Rakryan Kanuruhan untuk melaksanakan nazarnya itu, permohonannya dikabulkan, malah Rakryan Kanuruhan menambahinya. Peristiwa ini diperingati dengan Prasasti Kanuruhan bertahun 856 Saka (935 M) yang dipahatkan di belakang sandaran sebuah arca Ganesha, dan keadaannya terputus di bagian atas sebelah kiri.        Prasasti-prasasti peninggalan Pu Sindok tak ada yang memuat peristiwa politik pada masa pemerintahannya. Bila pun ada, itu samar-samar dan terdapat dalam prasasti tembaga yang tinulad, yakni yang diturunkan pada tahun-tahun kemudian. Prasasti yang menyentil masalah politik di antaranya Prasasti Waharu IV tahun 853 Saka (931 M), yang menyatakan bahwa penduduk Desa Waharu telah mendapatkan anugerah raja karena penduduk desa tersebut di bawah pimpinan Buyut Manggali senantiasa berbakti kepada raja, ikut berusaha agar raja memang dalam peperangan, dengan mengerahkan senjata, tanpa ingai siang-malam dalam mengikuti balatentara kerajaan, sambil membawa panji dan segala macam bunyi-bunyian, pada waktu raja hendak membinasakan musuh-musuhnnya yang dianggap sebagai perwujudan kegelapan.        Prasati Sumbut bertahun 855 Saka (933 M), yang tak kumplit, hanya dua lempeng pertama saja, memberikan informasi bahwa Pu Sindok telah menganugerahkan Desa Sumbut sebagai sima kepada Sang Mapanji Jatu Ireng, yang tekah berjasa ikut menghalau musuh bersama penduduk desa tersebut dengan tujuan agar kedudukan raja di atas singgasana dapat langgeng.   Kehidupan Beragama       Pu Sindok merupakan penganut penganut Siwa. Meski begitu, Pu Sindok bertoleransi terdapat agama lain. Ia menganugerahkan Desa Wanjang sebagai sima swatantra kepada pujangga Sri Sambhara Suryawarana, yang berhasil menulis kitab Buddha-Tantrayana berjudul Sang Hyang Kamahayanikan.         Mengenai lokasi bangunan suci yang dibuat pada masa Pu Sindok, hingga sekarang belum dapat dipastikan lokasinya. Prasasti Anjukladang menyebutkan adanya Candi Lor, dan kini di dekat Berbek, Kab. Nganjuk ada reruntuhan candi. Namun begitu, masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut mengenai kepastiannya, walau pun reruntuhan candi ini menunjukkan cirri-ciri candi periode Jawa Tengah. Ada pun di dekat penyimpanan Prasasti Cunggrang di lereng timur Gunung Penanggungan (dulu gunung ini bernawa Pawitra) ditemukan beberapa peninggalan tempat pemandian, antara lain di Belahan, yang tak jauh dari lokasi prasasti tersebut. Belum dapat dipastikan apakah Sang Hyang Tirtha Pancuran di Pawitra itu kini adalah tempat pemandian tersebut. Namun, bukankah nama Penanggungan masa dulu adalah Pawitra? Juga, ada yang menafsirkan bahwa nama tempat Betra kini kemungkinan berasal dari Pawitra. Resink pernah mengemukakan pendapat bahwa pemandian Belahan berasal dari zaman Pu Sindok.        Belum ada satu candi pun di Jawa Timur yang berhasil diidentifikasi sebagai peninggalan Mataram zaman Pu Sindok. Nama bangunan suci sang hyang dharma ring isanabhawana, yang dianggap sebagai pengganti Borobudur masa Wangsa Sailendra, sampai sekarang belum berhasil ditemukan. Juga bangunan sang hyang swayambhuwa i walandit yang dapat dianggap sebagai bangunan suci untuk Dewa Brahma, hingga kini belum dapat diidentifikasi letaknya.   Wafat      Pu Sindok wafat pada 947 M dan didharmakan atau candikan di sang hyang dharma ring isanabhawana atau Isanabajra, yang hingga kini belum berhasil ditemukan. Prasasti Pucangan memberitakan, Pu Sindok digantikan oleh putrinya, Sri Isana Tunggawijaya. Sri Isana Tunggawijaya ini memerintah bersama suaminya, Sri Lokapala. Pasangan sumai-istri ini kelak memiliki putra bernama Sri Makutawangsawarddhana.        Ada satu hal yang menarik bahwa nama Mataram hingga zaman Singhasari dan Majapahit dan sesudahnya masih dipakai sebagai nama kerajaan-bawahan, bahkan dijadikan nama kerajaan Islam oleh Panembahan Senopati pada abad ke-17. Sedangkan nama Medang sebagai nama daerah menjadi kurang popular.